(istimewa)
INILAH.COM, Jakarta – Belakangan, Poco-poco makin terkenal saja. Tidak hanya di pentas-pentas hiburan, tapi juga sudah masuk ranah politik. Apa sebenarnya Poco-poco?
Dari Palembang, Sumatera Selatan, Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri membuka suara. “Pemerintah sekarang seperti (menari) Poco-poco,” katanya. Maksudnya, maju ke depan, mundur ke belakang, bergeser ke kiri, kembali ke kanan. Maknanya, tetap jalan di tempat.
Merasa tersentak, kubu pemerintah bereaksi. Juru bicara presiden Andi Mallarangeng mengatakan Poco-poco justru tarian bagus. “Jangan melecehkan tarian Sulawesi. Itu tarian luar biasa,” katanya.
Sodokan lebih tajam datang dari Wakil Presiden Jusuf Kalla. “Saya kira poco-poco jauh lebih baik daripada dansa-dansa yang berputar-putar, sambil jual gas murah,” tukasnya.
Yopie Latul, penyanyi yang mempopulerkan Poco-poco, bisa jadi tak menduga, lagu yang didendangkannya itu bakal masuk ke trek politik nasional. Pasalnya, ketika pertama kali muncul, lagu itu sesungguhnya terinspirasi dari gerakan aduhai seorang gadis yang lincah menari.
Balenggang patapata,
Ngana pe goyang...pica-pica,
Ngana pe bodi...poco-poco,
Cuma ngana yang kita cinta
Cuma ngana yang kita sayang
Cuma ngana suka biking pusing
(Jalannya berlenggang,
Goyangan badanmu...lincah,
Tubuhmu yang berisi dan lincah
Hanya kamu yang kucinta
Hanya kamu yang kusayang
Hanya kamu suka buat aku pusing...)
Begitu penggalan lirik lagu Poco-poco gubahan seniman Ternete berdarah Ambon, Arie Sapulette. Saat itu, Arie melihat seorang gadis sedang membawakan suatu tarian tradisi masyarakat Yospan, Papua dan Wayase, Ambon di suatu pesta. Ia pun memuji kelincahan gadis itu dalam menari sehingga keluarlah kata poco-poco, yang membawa maksud gadis yang tubuhnya berisi dan lincah.
Sejak itu, tarian yang mengikuti rentak gendang itu dinamakan `poco-poco'. Setelah Arie pindah ke Jakarta tahun 1995, lagunya popular ke seluruh Indonesia, dinyanyikan oleh penyanyi tersohor Yopie Latul. Tari Poco-poco sendiri baru populer sekitar tahun 2001.
Poco-poco bukan sekadar tarian biasa. Hingga kini, banyak daerah dari timur Indonesia mengklaim sebagai asal poco-poco. Ada yang dari Ambon, tak sedikit pula dari Sulawesi Utara.
Darimanapun asal-usul pertamanya, tarian ini digemari masyarakat tanpa mengenal usia. Gerakan dasarnya relatif mudah. Dua langkah kecil ke kanan, kembali ketempat, lalu mundur satu atau dua langkah ke belakang, kemudian maju ke depan sambil berputar. Begitu seterusnya gerakan itu diulang-ulang. Prinsipnya, memutar tubuh ke empat penjuru mata angin, lalu kembali ke tempat semula.
Tarian poco-poco yang berkembang hingga saat ini memiliki sekitar 50 gerakan. Iringan musiknya pun beraneka macam. Ada yang dangdut, house music (disko), dan juga cha-cha.
Meskipun demikian, ada aturan yang tetap, yaitu jika tidak membuat kesalahan, maka seorang penari relatif statis karena berputar-putar di tempat. Sedangkan jarak antar penari juga terjaga secara harmonis.
Tarian ini biasa digunakan pada suasana bersuka ria atau bahkan untuk berolahraga. Beberapa kalangan bahkan memanfaatkan tarian ini untuk memperkenalkan kebudayaan Indonesia. Sebagai alat penghubung dan pengerat silaturahmi antara diplomat Indonesia dan asing.
Sebelum popular, tarian ini juga sering dibawa oleh pasukan tentara yang pernah bertugas di Ambon sebagai alat untuk mengukuhkan perpaduan. Mereka menarikannya sebagai satu cara menghibur diri ketika sedang bertugas.
Menarikan poco-poco tidak sesukar menarikan tarian daerah lain yang nilai seni dan estetikanya tinggi. Penari pun tidak memerlukan bakat untuk bergoyang poco-poco. Yang terpenting adalah penari merasa gembira, segar dan sehat setelah menari `poco-poco'.
Mendengar intronya dengan irama mirip musik reggae, kepala dan kaki akan secara refleks bergerak. Suara Yopie Latul kemudian melantun ke seluruh ruang. Selanjutnya, tentu akan susah berhenti berpoco-poco.
Adakah karena susah menghentikan itu pula sehingga poco-poco kini naik ke panggung politik? [I4]